Sikap saya terhadap penerapan hukum syariah

Saya ingin melanjutkan tulisan sebelumnya berjudul Qanun Jinayat: bukan yang terakhir. Tulisan itu dan qanun jinayat yang disahkan DPRA NAD membuat saya rajin mencari bacaan yang berhubungan dengan perjalanan wacana dan penerapan syariah di Indonesia. Saya menemukan beberapa hal dan saya coba rangkum di satu tulisan.

Seorang Octavianus menulis di facebook mengenai sulitnya aturan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 hidup berdampingan dengan Perda Syariah (hukum syariah) yang bersumber dari Al Quran dan Hadits nabi. Pencampuradukkan sistem hukum itu justru dapat menambah permasalahan hukum dan kebingungan dari masyarakat dalam dan luar negeri. Namun, sarannya mengenai adanya Negara Syariah Islam Indonesia (NSII) yang berdampingan dengan NKRI justru kontroversial dan bukan solusi.

Majalah Forum Keadilan edisi 23 Maret 2003 menurunkan artikel mengenai penerapan syariah di beberapa negara dalam membahas perda syariah yang saat itu mulai berlaku di NAD. Sikap saya adalah tidak setuju dengan penerapan hukum syariah. Sikap itu akan saya bahas dalam beberapa paragraf di bawah.

Pertama, penerapan syariah sangat mungkin memperuncing konflik sosial yang sudah ada sebelumnya yaitu konflik agama, etnis, kesenjangan ekonomi serta konflik pada tingkat kebijakan pendidikan, anggaran, militer, dll. Konflik berdarah bukan sesuatu yang mustahil terjadi jika melihat kasus-kasus di negara lain. Jika melihat konteks Indonesia, saya pribadi khawatir dengan disintegrasi NKRI.

Kedua, penerapan hukum syariah banyak merujuk pada komposisi mayoritas umat muslim. Sementara dari 86 sekian persen muslim Indonesia, pemahaman dan cara berpikir mereka sangat beragam. Cara mempraktekkan islam antara saya dengan bapak atau bulek saya berbeda, begitu juga dengan orang lain, teman, tetangga, dll. Penyeragaman pemahaman dengan memberlakukan hukum syariah sudah lama menghadapi tentangan keras dari kaum muslim itu sendiri. Satu pihak akan menganggap hal ini sebagai bentuk adu domba masyarakat Indonesia dengan isu ideologi “asing” disusul dengan saling menghujat.

Kaum muslim yang menentang syariah akan dianggap kurang punya “urat ketimuran” dan dipengaruhi Barat. Kelompok pendukung syariah akan dihujat sebagai kurang nasionalis dan tidak mengakar pada budaya lokal. Identitas muslim Indonesia yang plural tidak sesuai bagi penerapan syariah. Arab Saudi, negara kerajaan, yang menerapkan syariah dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat tidak mengenal pluralisme agama. Sejarah bangsa mereka pun berbeda. Selain Arab Saudi, beberapa negara yang menerapkan syariah islam adalah Pakistan, Sudan, Maroko, Yordania, Bahrain, Iran, dll. Tentu masing-masing memiliki perbedaan dalam penerapannya.

Dalam artikel di FK itu, dimuat wawancara dengan Abdullah Puteh, Gubernur NAD saat itu. Dia mengatakan bahwa, “Orang muslim yang tinggal di Aceh harus tunduk pada syariat Islam. Dia tidak bisa memilih ketentuan hukum yang lain.” (hlm. 17). Sikap itu dipelihara sampai 2009 sehingga lahir qanun jinayat. Tidak hanya NAD, propinsi dan kabupaten/kota lain juga mulai menerapkan kebijakan syariah. Pada artikel tahun 2003 itu terhitung daerah seperti Pamekasan dan Sumenep di Madura, Gresik, Malang, Indramayu, Cianjur, kabupaten Maros, Sinjai dan Gowa di Sulawesi Selatan yang memiliki perda syariah. Ini membawa pada poin ketiga karena banyak dari tuntutan penerapan syariah islam itu datang dari ulama yang berbasis pesantren dan dimulai dari Gerakan memberantas kemaksiatan. Tingginya tingkat kemaksiatan dianggap dapat diatasi dengan penerapan syariah. Hukum yang ada dianggap gagal sehingga gerakan moral berbasis satu agama ingin mengambil alih proses penghukuman. Namun, sebuah gerakan moral yang non-plural dan cenderung memecah belah (daripada menyatukan seluruh komponen bangsa) tidak memiliki landasan yang kuat.

Keempat, saya melihat hukum syariah masih menganut konsep netralitas atau positivisme hukum seperti hukum sekarang yang berlaku (dan berusaha diperbaiki oleh kelompok feminis). Maksud positivisme hukum adalah anggapan bahwa kepastian hukum hanya akan terwujud bila ia tertutup dan otonom dari berbagai persoalan moral, agama, filsafat, politik, sejarah dan semacamnya. Sementara pemikir hukum feminis meyakini bahwa hukum yang netral itu tidak ada, karena berbagai perangkat hukum tersebut, disadari atau tidak, dibuat dalam perspektif patriarki sehingga lebih melindungi kepentingan laki-laki daripada perempuan dan membenarkan ketidaksetaraan gender yang terjadi.

Inilah sikap dan argumentasi saya terhadap hukum syariah yang banyak menjadi perhatian. Jika ada argumentasi lainnya, saya akan membuatnya dalam tulisan terpisah. Semoga bisa menjadi perhatian.

Jakarta, 7 Oktober 2009
SM

Referensi
http://www.facebook.com/topic.php?uid=25786319907&topic=9323
Forum Keadilan No. 46, 23 Maret 2003
http://www.muslimedia.com/archives/features00/shariah2.htm
Irianto, Sulistyowati (ed.). 2006. Perempuan dan hukum: menuju hukum yang berperspektif kesetaraan dan keadilan. NZAID bekerjasama dengan Convention Watch-UI dan Yayasan Obor.

Qanun Jinayat: bukan yang terakhir

Ketika membaca berita mengenai disahkannya qanun jinayat dan qanun acara jinayat (hukum) cambuk dan rajam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, saya terheran-heran. Pertanda apa ini?

Sumber informasi saya adalah artikel berita yang di surat kabar, majalah, facebook, kantor berita nasional dan internasional serta portal website lokal. Dalam artikel Acehkita.com tanggal 14 September bahwa saat parlemen mendiskusikan qanun ini, puluhan aktivis sipil berunjuk rasa di luar gedung. Namun, suara mereka tidak dipertimbangkan dan qanun disahkan secara aklamasi. Dalam proses aklamasi itu,

Hanya Partai Demokrat yang menilai hukum rajam belum saatnya diberlakukan di Aceh. Namun dalam rapat di Panitia Musyawarah, Partai Demokrat tak meraih dukungan dari anggota dewan lain, sehingga kalah suara.

Menarik bahwa parpol yang menentang qanun “kalah suara” di DPRA. Menarik bahwa qanun tersebut disahkan oleh DPRA demisioner karena anggota DPRA yang baru dijadwalkan dilantik tanggal 30 September 2009. Menarik bahwa P. Demokrat menyatakan “belum saatnya diberlakukan” yang terdengar ambivalen. Siapa saja yang ada dalam DPRA? Selain Demokrat, ada Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Bulan Bintang, Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Bintang Reformasi, dan Fraksi Gabungan. Sebaiknya kita sudah mencatat nama-nama dan parpol yang mereka wakili untuk menjadi catatan penting dalam pilkada NAD selanjutnya.

Siapakah yang diwakili fraksi-fraksi tersebut? Bukankah ada begitu banyak kelompok dampingan LSM di NAD yang menjadi bagian dari sekitar 2,6 juta pemilih dalam pilkada tahun 2006? Dimana anggota DPRA perempuan? Di DPRA keterwakilan mereka hanya 4,3%. Pasca pemilihan tahun ini, harian Analisa menulis bahwa

Posisi kaum perempuan di legislatif hasil Pemilu 2009, baik DPRA maupun DPRK kabupaten/kota di Aceh diperkirakan lebih buruk dibandingkan dengan hasil Pemilu 2004 lalu. Pasalnya, di lembaga wakil rakyat tersebut nyaris tidak ada atau tidak lebih dari satu persen saja kaum perempuan.

Sepertinya perlu tenaga ekstra untuk kembali mendudukkan dan memperjuangkan kualitas perempuan dalam DPRA dan DPRK di NAD.

Menarik juga membaca berita bahwa qanun itu tetap disahkan DPRA walaupun pemerintah Aceh menolaknya. Gubernur memang belum meneken qanun ini karena berharap dapat dibicarakan kembali dengan DPRA yang baru. Namun, saya lihat dari beberapa komentar di Acehkita.com, sebagian mendukung diberlakukannya qanun jinayat sebagai bagian dari pemberlakuan hukum syariat di NAD. Sejak awal hukum syariat-nya yang bermasalah dan qanun ini atau qanun lain yang akan muncul mungkin akan sejalan dengan “semangat syariat”.

Saya sendiri heran karena sebelumnya rancangan qanun belum santer terdengar sampai saat disahkan dan menjadi berita kontroversial di dunia internasional. Affan Ramli juga menyatakan bahwa rancangan qanun itu belum pernah dipublikasi dan disosialisasikan secara baik kepada masyarakat. Ada wacana untuk melakukan uji materiil (judicial review) namun ada baiknya untuk berkaca dari kasus ini untuk mencegah kasus yang sama di depan karena sepertinya qanun seperti ini bukan yang pertama dan bukan yang terakhir.

Saya juga baru mengetahui bahwa selain 2 qanun itu, ada 3 qanun yang disahkan bersamaan yaitu Qanun Penanaman Modal, Qanun Wali Naggroe, dan Qanun Perlindungan Perempuan (PP). Tidak banyak yang mengetahui mengenai isi dan substansi dari ketiga qanun tadi terutama qanun perlindungan perempuan dan hubungannya dengan qanun lain yang tidak melindungi perempuan. Saya baca bahwa penyusunan draft qanun PP itu ikut melibatkan Direktorat Peran Perempuan-BRR NAD. Saya belum menemukan substansinya di internet. Penasaran sekali “membaca” qanun-qanun yang bertebaran di NAD akhir-akhir ini.

29 Sep. 09

Referensi
http://www.acehkita.com/berita/yang-keberatan-qanun-rajam-judicial-review-saja/
http://www.harian-aceh.com/banda-raya/banda-aceh/3718-aceh-berlakukan-hukum-rajam-massa-pro-dan-kontra-berunjuk-rasa.html
http://www.harian-aceh.com/analisi/3733-merajam-dalil.html
http://www.aceh-eye.org/a-eye_news_files/a-eye_news_bahasa/news_item.asp?NewsID=10571